Kalau berbagi itu mudah, mengapa orang masih saja meminta?
Tanyamu suatu sore setelah hening panjang dalam tepi teluk temaram. Dudukmu hadapku, tapi tatapmu lepas dari peraduan. Sementara aku sibuk memainkan jari dalam kubik warna-warni. Otakku sendiri mengingat setahun lalu. Saat kita berada di tempat yang sama, tapi waktu belum jadi dilema. Sekarang? Kita seolah kabur ke ujung dunia. Menepi dari banyak orang yang suka mengajukan tanya.
Aku tahu jawaban pertanyaanmu, dear. Hanya belum niat untuk mengeluarkan suara kembali setelah mendengar pengakuan panjangmu. Terlalu sering kamu keliru berbasa-basi hingga akhirnya membelokkan suasana menjadi mati. Lalu jeda itu lagi-lagi terjadi.
Aku nggak tahu banyak hal, tapi seenggaknya aku tahu apa yang aku mau.
Keningku berkerut. Kubik terhenti hampir tiga perempat jadi. Kalau tahu apa yang kamu mau, berarti aku turut repot ambil bagian. Kakiku mulai bergoyang tidak santai. Tenangku hilang. Ini mungkin saatnya.
Kamu gimana?
Aku baik, itu saja yang perlu kamu tahu. Tampilanku memang sering menipu, tapi aku harap kamu hafal permainanku. Bukan tarik ulur seperti layang-layang, bukan pula bersabar memasukkan bola ke dalam gawang. Ini permainan kesukaanmu, yang pernah kamu gemari saat masih berseragam putih-merah.
Ya, petak umpet.
Kali ini giliran kamu berjaga, sedangkan aku mencari tempat bersembunyi. Hitung sampai sepuluh, dan berharaplah dapat menemukanku. Aku tertawa getir mendengarmu menghitung maju. Yang kamu tidak tahu, aku sembunyi sambil berlari menjauh. Sampai akhirnya kamu lelah mencariku dan kita bertemu lagi di episode baru, di mana semuanya terasa asing karena bau ragu.
I listen to the wind, to the wind of my soul
Where I'll end up well I think, only God really knows~
Jawabannya dear, karena berbagi dan meminta itu bagai Romi dan Yuli. Aku yakin kamu bisa berdiri sendiri tanpa aku di sisi. Don't worry be happy ya.
Sembilan, sepuluh! Aku pasti menemukanmu.