Sunday, December 30, 2012

Durable Love

Joko Anwar mulai 'mencuri' atensi saya sejak bikin heboh Twitter tiga tahun lalu. Nada sarkas seringkali muncul dari tweet-nya, tapi diolah dengan cerdas. Pemikirannya buat menyingkirkan film horor-kelas-teri-yang-dibuat-asal-jadi dari bioskop Tanah Air pun layak diacungi jempol. Nggak cuma film panjang, beberapa film pendeknya pun saya doyan. Salah satunya Durable Love.

Ada quote yang begitu memikat:
Dunia itu HUGE. Aku nggak bisa ngabisin sendiri. Makanya aku pengen bagi sama kamu.
Keep up the great work, Bang Joko!

Wednesday, November 14, 2012

Lousy Day

Bulan itu merah jambu, sama seperti senyummu. 
Bedanya ada rasa kelabu menggelayut hari biru saat tiba waktu yang begitu ditunggu. 

"Tidak terasa, akhirnya kamu datang juga."
"Aku tidak datang, tapi pulang."

Ada bias yang hilang begitu kamu bilang semuanya tetap sama. 
Namun, begitu aku mengecek lemariku, ternyata isinya telah berubah. 
Awalnya serba ungu, tapi kini warna abu-abu. 

Lalu, kamu putar angka ke 25 dan ucapkan banyak mantra. 
 Sim salabim abrakadabra, setahun ke depan semoga jaya di depan mata.
Sementara banyak yang lupa, itu tidak apa-apa.
Alpa itu manusia, kalau sempurna tentu milik Yang Maha Luar Biasa.


Saturday, October 27, 2012

Janggal yang Mengganjal

Andrea: It's a busy day. And my personal life is hanging by a thread, that's all. 
Nigel: Well, join the club. That happens when you start doing well at work, darling. Let me know when your whole life goes up in smoke. That means it's time for a promotion. (The Devil Wears Prada, 2006)

Adegan itu selalu kamu ulang ketika bosan. Mendapati diri sendiri terpaku dalam tali menggantung sama sekali tidak mengenakkan. Hidupmu terpasung, sedangkan yang lain berlalu dengan dada membusung, diikuti rangkaian kertas warna-warni sebagai tanda gempita prestasi.

Terlalu banyak kejanggalan yang menusuk seperti bau durian, katamu seraya menatap pasir berhamburan. Awalnya, kamu tidak memedulikan nada-nada sumbang yang bernyanyi riang. Pikirmu, toh meski semua orang suka musik, tidak seluruhnya pandai bernyanyi. Kamu maklum, tapi akhirnya tetap menggerutu.

Cacing Kepanasan.

“Bayangkan, aku harus tahan mendengar nyanyian mereka selama berjam-jam setiap hari. Semuanya bernyanyi lagu sama dengan nada berbeda. Aku harus bagaimana?”

Aku tersenyum melihat kepanikan menempel rapi di keningmu. Bulir-bulir keringat dingin itu menetes seiring napasmu yang semakin cepat. Saranku terangkum dalam kalimat berikut: “Jangan berlari, hadapi saja. Pakai earphone andalan dan dengarkan playlist kesukaanmu. Buat mereka seolah bernyanyi dalam sunyi.”

“Aku benci durian, kamu tahu itu. Aku juga berharap orang tidak asal bernyanyi, tanpa mengerti apa arti bunyi.”

Take it or leave it, dear. The choice is yours.”

Dan kali ini kamu memandangku tajam. Ada pisau di sana yang siap menikamku dalam temaram. Semoga saja ini tidak memaksaku untuk kabur tengah malam.

Saturday, October 6, 2012

Gara-gara HIMYM

Pertama kali didengar di HIMYM, terus jadi lagu favorit deh. Kebanyakan sih dari season 7 dan 8. Laff!

1. Florence and The Machine - Shake It Out (7x17 - No Pressure)




2. Cat Stevens - The Wind (7x24 - The Magician's Code: Part 2)





3. The Funeral - Band of Horses (8x01 - Farhampton)

 


4. Damien Jurado - Museum of Flight (8x02 - The Pre-Nup)




5. The Swell Season - Low Rising (8x05 - The Autumn of Breakups)


 

Mencoba Ideal Ala The Newsroom

Saya selalu suka nonton serial atau film yang bernapaskan jurnalistik. Di dalam negeri, yang paling nendang sejauh ini cuma Dunia Tanpa Koma, dimainkan oleh Dian Sastro dan Fauzi Baadila. Katanya sih, karena penulis skenarionya orang Tempo -Leila S. Chudori, adegan yang ditampilkan mirip dengan keseharian para jurnalis di media yang hobi investigasi ini. Kalau di luar negeri, banyak bangeet. Dari Veronica Guerin, Shattered Glass, The September Issue, sampai funny journalist macam Robin Scherbatsky di How I Met Your Mother.

Nah, tahun ini koleksi serial saya seputar jurnalistik bertambah lagi dengan kehadiran The Newsroom (selanjutnya disebut TN ya). Sepuluh episode dimulai dari Juni dan berakhir Agustus kemarin. Episode pertama dilalui dengan ternganga-nganga karena dialog super kilat. Apalagi kata-kata dalam bahasa Inggris yang dipakai nggak semuanya ada dalam kamus otak saya. Sampai-sampai kepikiran, ini orang pada mikir dulu nggak sih sebelum ngomong? Kok cepat banget tektoknya hahaha. 

The Cast
Aaron Sorkin jelas pantas banget diacungi seluruh jempol! Karakternya pas, pemainnya pas, alur cerita juga pas. Paling suka dengan Jim Harper dan Sloan Sabbith. Smart dan nyinyir-nya cocok banget! :)

Para karakter ini bukan tipikal jurnalis yang terjun ke lapangan. Mereka stay di ruang redaksi, memikirkan topik-topik apa saja yang bakal naik untuk acara "News Night" di stasiun ACN pada jam prime time, lalu menghubungi narasumber kredibel sesuai topik, sampai akhirnya benar-benar on air. Topik berita yang diangkat jadi cerita adalah isu besar yang terjadi di AS dan dunia selama dua tahun terakhir, mulai dari terbunuhnya Osama bin Laden sampai tragedi keruntuhan Mubarak di Mesir. Kehidupan pribadi para karakternya juga diulas sedikit-sedikit, membuat TN jadi serial yang cukup komplit dengan waktu tayang hampir satu jam setiap episode.

Ideal ala TN adalah mencoba melawan gempuran pemilik media yang begitu mementingkan rating. Satu kasus di episode 4 (agak spoiler nih), saat berita politisi Gaby Giffords tertembak. Saat belum ada konfirmasi dari pihak medis, ACN lewat corong McAvoy bertahan tidak memberitakan kalau Gaby meninggal dunia. Padahal saingan mereka, MSNBC, CNN, dan Fox sudah confirmed hal itu dari NPR

Reese Lancing, pimpinan ACN, nggak terima dan merangsek masuk studio sambil mengumpat ke McAvoy seperti ini: Every second you're not current a thousand people are changing the channel to the guy who is. That's the business you're in! Di sini sambitan Don Keefer keren banget. Merinding deh, mana pakai lagu Coldplay - Fix You sebagai backsound. Hiyaaaa. Jadi, bertanya-tanya juga apakah akurasi atau kecepatan yang didahulukan stasiun televisi? Yang diajarkan di kampus sih yang pertama :)

Ah nggak sabar tahun depan. Second season!

Monday, September 3, 2012

Tinggal Seratus

Seratus. Kalau itu uang dalam rupiah, mungkin tidak ada harganya lagi. Beli permen tak mampu, kasih pengemis atau pengamen pun terasa ragu. Tidak banyak yang bisa dilakukan dengan uang seratus rupiah, kecuali menggenapkan sesuatu.

Seratus. Kalau itu jarak yang harus ditempuh dalam kilometer, mungkin habis sudah dua jam perjalanan. Jakarta-Bandung. Dilewati sejak pintu Tol Cikarang hingga masuk Tol Pasteur. Bisa saja macet ataupun lancar. Yang jelas, perjalanan rasanya lurus dan panjang.

Seratus. Kalau itu umur, berarti sudah seabad hidup di bumi. Apa rasanya hidup dalam usia larut senja? Apa rasanya saat jumlah keriput di raga sudah tak terhingga? Apalagi jika orang-orang sebaya sudah tiada. 

Menghitung mundur rasanya amburadul. Seratus itu perlahan berganti menjadi lima puluh, lalu sepuluh, hingga satu, dan akhirnya nol. Lalu apakah memulai lembaran baru atau bertahan dengan masalah yang sama? Thought you know me so well, but you're not.

Image from here.


Tuesday, August 21, 2012

Banyak Tanya

Kalau berbagi itu mudah, mengapa orang masih saja meminta?

Tanyamu suatu sore setelah hening panjang dalam tepi teluk temaram. Dudukmu hadapku, tapi tatapmu lepas dari peraduan. Sementara aku sibuk memainkan jari dalam kubik warna-warni. Otakku sendiri mengingat setahun lalu. Saat kita berada di tempat yang sama, tapi waktu belum jadi dilema. Sekarang? Kita seolah kabur ke ujung dunia. Menepi dari banyak orang yang suka mengajukan tanya.

Aku tahu jawaban pertanyaanmu, dear. Hanya belum niat untuk mengeluarkan suara kembali setelah mendengar pengakuan panjangmu. Terlalu sering kamu keliru berbasa-basi hingga akhirnya membelokkan suasana menjadi mati. Lalu jeda itu lagi-lagi terjadi.

Aku nggak tahu banyak hal, tapi seenggaknya aku tahu apa yang aku mau.

Keningku berkerut. Kubik terhenti hampir tiga perempat jadi. Kalau tahu apa yang kamu mau, berarti aku turut repot ambil bagian. Kakiku mulai bergoyang tidak santai. Tenangku hilang. Ini mungkin saatnya.

Kamu gimana?

Aku baik, itu saja yang perlu kamu tahu. Tampilanku memang sering menipu, tapi aku harap kamu hafal permainanku. Bukan tarik ulur seperti layang-layang, bukan pula bersabar memasukkan bola ke dalam gawang. Ini permainan kesukaanmu, yang pernah kamu gemari saat masih berseragam putih-merah.

Ya, petak umpet.

Kali ini giliran kamu berjaga, sedangkan aku mencari tempat bersembunyi. Hitung sampai sepuluh, dan berharaplah dapat menemukanku. Aku tertawa getir mendengarmu menghitung maju. Yang kamu tidak tahu, aku sembunyi sambil berlari menjauh. Sampai akhirnya kamu lelah mencariku dan kita bertemu lagi di episode baru, di mana semuanya terasa asing karena bau ragu.

I listen to the wind, to the wind of my soul
Where I'll end up well I think, only God really knows~

Jawabannya dear, karena berbagi dan meminta itu bagai Romi dan Yuli. Aku yakin kamu bisa berdiri sendiri tanpa aku di sisi. Don't worry be happy ya.

Sembilan, sepuluh! Aku pasti menemukanmu.

Friday, August 10, 2012

Sudah Sewindu



Ada yang interpretasi lagu ini dari sudut pandang hewan peliharaan. Ada juga yang bilang ini kisah seorang insan menanti kasih dari kesayangan. Tapi yang jelas, sewindu itu waktu. Tulus sekali jika harus menunggu selama itu.
 

Monday, July 23, 2012

Menunggu Karam

Sebentar lagi kapal karam, Kapten! 
Mau langsung naik sekoci atau duduk-duduk dulu minum teh poci? 
Beritahu keluargamu dulu. Sampaikan maaf karena tidak bisa menemanimu berlayar hingga tujuan.
Kapten, lupa ya? Aku kan yatim piatu. Keluargaku hilang ditelan tsunami. 
Kini hanya Kapten yang aku anggap sebagai keluarga.
Ah iya. Kalau begitu, ayo kita minum teh poci dulu. Santai saja, tidak usah panik.
Siapa tahu nanti kita bertemu keluargamu? 
 


Gambar dari sini

Kapten sudah gila!

Wednesday, July 18, 2012

Au Revoir

Setiap kali mendengar kata fresh, hidungku langsung membayangkan aroma mint yang melingkar di sekeliling tubuhmu. Wangimu tak pernah berubah, sedangkan aku kerap berganti. "Kamu tidak setia," katamu singkat. Kalimat tersebut belakangan ini sering kali meluncur dari bibirmu. Arah pembicaraan kita pun perlahan mengular, membentuk tanda tanya.

Where are we going?

Sepertinya kita terlalu lelah mengulang episode yang sama. "Aku bosan," ujarku sembari memainkan sedotan dalam gelas. Napas panjangmu terdengar, lalu jemari kananmu mengacak-acak rambutku. "Kita terbang ke bulan ya!" ajakmu tanpa permisi kepada siapa yang punya. Aku bingung, selalu bingung dengan ulahmu yang spontan, sedangkan aku nyaris selalu menyiapkan rencana gamblang. Apakah ini berarti kita seimbang?

Pandanganmu menerawang jeli seraya beranjak pergi. Aku berniat mengekor di belakangmu, tapi langkahku terlalu lambat. Punggungmu pun hampir tak lagi terlihat. Hanya teriakanmu yang sayup-sayup terdengar memberiku petunjuk, "Sayang, semua ini adalah mimpi. Bangunlah agar kamu tidak merasakan sakit lagi!"

Dan ketika membuka mata, bayanganmu tersenyum meninggalkanku.

Wednesday, July 4, 2012

Antiklimaks

Tidak ada pilihan berarti tidak perlu repot-repot memilih. Yang jadi masalah adalah saat satu-satunya kondisi itu bukanlah kondisi yang mengenakkan, bukan pula yang terburuk. Lalu mau bagaimana? Tanya hati yang penasaran. Cukup lihat sungai di seberang sana, dan ikuti ke mana air mengalir. Kalau suatu ketika ternyata air sudah mengering, mungkin saatnya beralih mencari sungai baru. Atau pindah ke luar angkasa, seperti katamu.

Monday, April 30, 2012

Someone Like Her

She is gorgeous. Pertama kali mendengar Chasing Pavements dari video klipnya, dan nggak butuh sampai lagu selesai untuk suka dengan penyanyi ini. Adele meramu patah hati menjadi pundi-pundi duniawi. "I'm never writing a breakup record again. I'm done with being a bitter witch," katanya setelah memborong enam gelar di ajang Grammy Awards 2012. Hmm, let's see!

Above all, I'm waiting for another album that will be named after your age, Adele!

Adele on Vogue. Gorg!



Monday, April 16, 2012

Untitled

Masalah itu kayak cucian kotor. Kalau ga diberesin, numpuk! Lama-lama lemari kosong deh. --0904

Genap setengah sebelum satu. Nyawaku masih meragu. Mungkin karena kamu. Mungkin juga karena sesuatu. Semuanya tampak masih abu-abu.

Jarum itu terus menggelinding. Sakit sekali melihatnya, seperti dicapit kalajengking. Mau teriak tapi tidak ada maling. Merayap saja pelan-pelan seperti cicak di dinding. Kemudian hilang dalam bising.

Empat ini, lalu delapan. Janjimu kembali tidak karuan. Mungkin boleh dibilang ibarat keran. Kadang mengalirkan kebahagiaan, kadang pula mati tanpa harapan. Lalu rusak lebih cepat karena selalu kamu mainkan.

Katamu bijak, gembira sebaiknya diam. Aku coba simpan dokumen impian dalam kamar temaram. Setelah cerita, wajahmu mendadak kelam. Mungkin rasanya asam. Lalu kita sama-sama diam.

Kalau diam adalah emas, mungkin aku sudah kaya raya.