Monday, October 17, 2011

Free Writing

Akhir September lalu, saya ikut training menulis. Pesertanya rata-rata pegawai pemerintahan dari berbagai macam instansi dan daerah, tapi bukan berarti materinya jadi ala-ala birokrat. Materinya justru seringan kapas, karena sebagian besar sudah saya dapatkan pas kuliah. Dari training ini pula, saya terinspirasi bikin blog ini dan bakal mulai rajin menulis.

Salah seorang pembicara di training itu adalah Hernowo. 'Kenal' bapak ini sebelumnya pas zaman kuliah Dasar kau keong racun Penulisan alias daspen. Tiga bukunya -"Mengikat Makna", "Quantum Writing", dan "Quantum Reading"- saya rangkum-bahas-simpul-kasih pertanyaan. Sayangnya, isi buku itu nggak bertahan di memori saya dengan baik. Ingat kalau beliau bahas soal buku bergizi. Tapi lupa apakah buku bergizi itu yang bisa kasih kita makan atau bukan. Kayaknya sih memori saya slek, jadi kemungkinan besar itu salah.

Di training itu, beliau menggarisbawahi kalau menulis itu -lebih baik dan kalau bisa harus- dimulai dari free writing. Jaja Miharja bertanya, apaan tuh? Free writing itu semacam kita menulis tapi nggak memedulikan benar atau salah, baik itu soal logika bahasa maupun tanda baca. Yang saya sering lakukan adalah ebanyakan pikiran pas mau nulis, ujung-ujungnya nggak tau mau menulis apa. Nah ini obatnya: free writing!

Hernowo bilang kalau lebih baik kita membebaskan pikiran soal apa yang mau kita tulis. Jangan dibiasakan setelah menulis satu kalimat, terus dirasa nggak berhubungan dengan kalimat sebelumnya, eh dihapus. Kalau menulis di kertas, kelihatan deh coretannya. Atau kalau di komputer, hobinya pencet tombol backspace. Ini jelek dan justru bakal bikin otak mandek. Jadi, tulislah sesuka hati. Sebelumnya buat poin-poin tentang apa saja yang mau ditulis. Bisa berupa mind mapping atau outline. Tulisan berantakan atau nggak itu urusan belakangan.


From here.
Setelah menulis, pasti berasa mumet kan ya? Nah, endapkanlah tulisan itu dalam kurun waktu sehari. Jadi, waktu yang paling tepat untuk mengedit tulisan adalah sehari setelah menulis, saat otak kita kembali fresh dan bisa mencerna tulisan dengan baik. Kelihatannya ribet, tapi mungkin memang efektif (belum dicoba sih). Perkara deadline itu adalah sesuatu yang bisa dikompromikan dan diatur sesuai jadwal masing-masing. Buat deadliner macam saya, mungkin ini adalah cara biar bisa menghargai waktu. Dulu waktu zaman kuliah, sering bikin tugas yang baru beres beberapa jam sebelum kuliah dimulai. Padahal, dikasih seminggu sebelumnya. Somplak deh.

Mungkin ini juga menjawab pertanyaan saya soal kenapa tulisan di media online semacam d**ik suka nggak enak dibaca. Karena ditulis buru-buru! Ya tahu kalo hitungan deadline di situ bukan hari lagi, tapi jam, bahkan detik. Beritanya juga cenderung pendek-pendek, karena lebih mengutamakan kenyamanan orang membaca online.

Waktu training itu, saya diberi tema-tema ringan yang harus dibuat jadi tulisan pendek, kayak kursi dan air mineral. Tapi bookk, ternyata sulit juga bikin satu-dua paragraf. Otak ini seakan jadi saklar lampu yang dipencet off. Mati.

Tapiii, dengan hadirnya blog ini saya akan membiasakan diri lagi buat menulis. Selain jadi tempat latihan, bisa juga jadi arsip buat bacaan masa depan. Yah yah yah. Dadah!

No comments:

Post a Comment