Monday, June 3, 2013

Peri Gigi

Sejak kecil, saya cukup bermasalah dengan gigi-geligi. Dulu sebelum gigi susu tanggal satu per satu, sudah banyak bagian yang rusak alias bolong. Masalah ini agak selesai begitu tumbuh yang baru, tapi eh ada satu gigi geraham tersisa. Yang nggak pernah terganti itu lho dan bolongnya mirip sama kawah Tangkuban Perahu. Terus membesar dan terus terang, saya malas banget ke dokter gigi. Sampai suatu ketika, gigi itu sakitnya menuju puncak. Akhirnya ke dokter dan ditambal. Tambalnya sering saya usel-usel pakai lidah, ya jelas cepat amblasnya.

Masuk SMP, saya lumayan aktif datang ke dokter gigi demi perawatan. Padahal, waktu itu finansial Papa sebenarnya lagi kurang bagus dan nggak ada asuransi yang cover. Tapi entah kenapa beliau selalu mengupayakan dananya ada :') Cerita berawal dari RS Borromeus dengan drg Daniel Tesawijaya. Selesai menambal, beliau bilang ada kemungkinan kalau susunan gigi atas saya bakal nggak beraturan. Waktu itu sih belum kerasa, tapi disarankan untuk pasang kawat retainer dengan biaya Rp250 ribu (bagian atas saja). 


Awalnya aneh dan nggak nyaman. Kalau di sekolah, saya hanya pakai selama pesantren kilat waktu bulan Ramadhan. Kebanyakan pakai di rumah dan selama tidur. Sepertinya pergerakan saya selama tidur kelewat aktif karena cukup sering bangun pagi dengan retainer yang sudah nggak ada di mulut. Bisa tergeletak di kasur, bisa juga di lantai :D

Retainer ini cuma bertahan sekitar 6 bulan karena saya malas kontrol dan tentu ada pertimbangan biaya juga. Akhirnya sesuai prediksi drg Daniel, penampilan gigi saya berantakan. A
da seri yang bentrok dengan taring di rahang atas. Jadi, bikin bibir saya agak monyong dan kalau ketawa pasti langsung sigap tutup mulut. Rahang bawah nggak jauh beda: tabrakan seri.


Oh iya, gigi geraham yang fenomenal itu mencapai klimaks kelas 3 SMA. Pipi saya mendadak bengkak. Ternyataaaa... geraham itu sudah bernanah di gusi dan mengenai bagian saraf. Super sakit, tapi girang banget mendengar rekomendasi dokter kalau itu harus dicabut. Artinya kan nggak perlu perawatan lagi hehe. Saya cabut di Kimia Farma Dago, Bandung, lupa dengan dokter siapa. Awalnya, dikasih obat dulu supaya bengkaknya hilang. Lalu, pada Sabtu yang cerah setelah pulang sekolah, saya ke sana lagi sendirian. Momen makan dua bakpau sebelum cabut gigi itu akan selalu saya ingat. Selesai operasi, agak panik dengan bibir kebas dan melihat kapas yang saya gigit berlumuran darah. Frankly, blood makes me queasy. Suka kleyengan kalau melihat merah-merah itu dalam jumlah banyak.

Kondisi finansial keluarga membaik saat saya masuk kuliah sekitar tahun 2006 (ketahuan tuanya, lol!). Dengan gigi nggak beraturan, tentu ada keinginan untuk pasang behel. Tapi approval proposal dari investor alias Papa mesti menunggu hampir satu kali masa jabatan SBY. Beliau agak ragu karena melihat kelakuan dulu yang malas kontrol. Apalagi behel kan nggak murah. Empat tahun kemudian, Mei 2010, akhirnya niat itu terlaksana juga ketika Papa ketiban durian jatuh. Alhamdulillah, excited banget!


Sempat bingung mau pasang behel di dokter mana. Untungnya ada Sitaosa
, teman kuliah saya yang baru pasang behel dan jadi pasien drg Inne Sasmita di Dipatiukur, Bandung. Ternyata praktik keluarga gitu. Biasanya kalau nggak ditangani dengan drg Inne, ada drg Nisa. Kalau datang hari Sabtu, ada juga praktik suaminya drg Inne. Biaya pasang behel di sini Rp5 juta atas-bawah, kontrol ganti karet Rp100 ribu, kalau tambah ganti kawat jadi Rp150 ribu.


Awalnya, saya ikut Sitaosa kontrol. Dikira masih dilihat dulu kondisi giginya, eh ternyata langsung cetak gigi. Terus dikasih surat rekomendasi untuk foto gigi. Langsung deh biar cepat tuntas, saya meluncur ke Klinik Pramita. Biaya dua foto -panoramic dan cephalometric- sekitar Rp 210 ribu. Besoknya, biji-biji besi itu sudah menempel di gigi saya dengan karet warna hitam. *belum PD buat warna-warni
 

Minggu pertama pemakaian rasanya super ngilu, terutama begitu bangun tidur. Cuma bisa makan bubur sama kuah-kuah selama tiga hari. Sebulan pakai, mulai deh cabut-cabut buat bikin ruang. Gigi yang harus saya relakan ada tiga: dua geraham di belakang taring atas dan satu bawah. Bawah cuma satu, karena ada ruang bekas geraham saya yang wafat saat kelas 3 SMA. Biaya cabutnya Rp100 ribu/gigi. 

Saya rutin kontrol gigi 3-4 minggu sekali. Cuma sepanjang 2012 lalu agak berantakan karena susah pulang ke Bandung. Kalaupun pulang, jadwalnya mepet banget dengan jadwal praktik dokter. Rekor terlama nggak kontrol adalah tiga bulan! Rasanya gigi merenggang, nggak ada tarikannya. Oh iya, saya rutin mencatat di MemoPad BB soal kontrol ini, mulai dari tanggal, aktivitas di dokter, warna karet, sampai biaya. Buat saya ini penting. Selain bikin nggak lupa kapan terakhir kontrol, juga tahu berapa biaya yang sudah dikeluarkan.

Asyiknya di drg Inne, biji besi alias bracket saya jarang lepas. Lemnya paten banget. Selama pakai, saya baru lepas dua kali dan untungnya nggak kena biaya pasang lagi alias gratis. Cuma ya, pasiennya drg Inne banyaaak banget. Jadi, telepon dulu buat daftar kalau nggak mau antre lama. Tapi saya selalu datang on the spot sih dan pernah juga menikmati antrean sampai tiga jam.

Bulan Mei lalu, behel saya berulang tahun yang ketiga. Meleset nih dari rencana pakai yang awalnya dua tahun saja. Gigi atas sudah rapi, tinggal bawah yang masih tarik-tarikan. Nggak tahu sampai kapan bakal pakai, tapi sebenarnya belum mau lepas juga hehe. Masih nyaman! Nyelip-nyelip setelah makan bisa diatasi dengan kumur-kumur atau pakai tusuk gigi. Urusan sikat gigi juga nggak saya bawa repot. Dulu pakai sikat gigi khusus, sekarang sih pakai sikat gigi anak-anak atau sikat gigi dewasa yang ukurannya kecil. Kumur pakai mouthwash juga jarang, karena saya nggak begitu suka dengan efek kebas setelahnya. 


Ada satu problem lagi soal gigi dan sepertinya ini yang terberat. Gigi molar ketiga (geraham paling belakang/gigi bungsu) di rahang bawah saya tumbuh miring dan keluar dari gusi hanya setengahnya. Kondisi ini disebut impaksi. Untungnya, rahang atas nggak ikut-ikutan tapi ada kemungkinan dicabut juga karena bakal nggak punya teman kalau gigi bungsu di rahang bawah sudah tiada
. Setelah googling, ternyata banyak orang Indonesia yang mengalami impaksi karena rahang sempit dan kebiasaan mengunyah. Jadi, ketika gigi terakhir yang ukurannya besar ini tumbuh, nggak tersedia cukup ruang buat keluar sempurna. Ada yang keluar setengah, bahkan ada yang ketahan di dalam dengan kemiringan 90 derajat.


Jalan satu-satunya adalah operasi di ahli bedah mulut. Cuma ya, saya belum berani. Katanya efek bengkak pascaoperasi bisa sampai 4-5 hari. Normal sih, tapi kan baiknya nggak kemana-mana selama itu alias di rumah saja. Sementara weekdays saya kerja di Jakarta dan nggak setiap minggu bisa pulang. Urusan biaya (lagi-lagi) juga jadi pikiran karena biayanya cukup besar. Bervariasi antara Rp1-3 juta per gigi, tergantung di mana lokasi dan dokternya. Nggak enak dong kalau masih bergantung sama orang tua, jadi saya berupaya kumpulkan dana sendiri. Belakangan ada info bahwa BPJS bisa menanggung operasi ini, tapi saya belum tahu lengkapnya seperti apa.
 

Efek impaksi ini cukup mengganggu hidup kalau nggak dicabut. Selain sering pusing, migrain, sakit leher, dan sakit-sakit lainnya. Sempat kepikiran, mungkin nggak ya gigi rahang bawah agak lama rapinya karena didorong impaksi ini? Hmm. Beberapa bulan lalu, saya juga sempat demam tiga hari. Dikira tipes/DB, eh ternyata karena sebagian badan gigi molar ketiga itu mencoba keluar dan merobek gusi, sayang gagal. Saya menargetkan sebelum menikah atau sebelum punya anak, nggak ada lagi gigi ini dalam keseharian saya. Semoga ya, bisa segera, juga bisa klop waktu dan biaya.


Left - before; right - five years later. 
Update: Gigi saya akhirnya bebas dari behel setelah lima tahun yay! Jadi, resmi dilepas pada 11 Juli 2015 dengan total biaya kontrol dan tetek bengek lainnya selama lima tahun itu mencapai Rp10.817.000. Termasuk murah sih, apalagi saya jarang kontrol selama tahun 2014 dan 2015 karena nggak sempat ke dokter gigi setiap pulang ke Bandung 

FYI, terakhir kontrol di drg Inne sudah berubah sistemnya. Setiap kali kontrol, harus bayar biaya pendaftaran pasien Rp15 ribu. Untuk pasien baru, kalau nggak salah biaya pendaftarannya lebih besar dari itu. Lalu, biaya kontrol berkisar Rp150 ribu untuk ganti karet saja serta Rp200 ribu untuk ganti karet dan kawat. Terakhir, biaya lepas behel kena Rp300 ribu.

Selain itu, saya juga telah menjalani operasi odontektomi pada Juni 2016 di RS Polri, Jakarta. Dikira hanya dua geraham bungsu di rahang bawah yang dicabut, tapi ternyata dokter menyarankan untuk sekalian mencabut dua geraham bungsu di rahang atas karena dikhawatirkan dapat tumbuh memanjang. Operasi dengan bius total berlangsung selama 1 jam dan membuat saya harus menginap di RS selama 3 hari 2 malam. Terima kasih untuk BPJS Kesehatan yang telah meng-cover seluruh biaya operasi. Kini, gigi saya tersisa 24 buah sajaaa...

 

5 comments:

  1. Kak minta alamat tmpat prakteknya dong... atau bagaimana caranya kalo ke fkp supaya bisa di tanggani sama dokter inne??

    ReplyDelete
  2. Hi! Praktik drg Inne ada di Jl Dipati Ukur 23, seberang Rabbani. Jadwalnya Rabu 13.00-18.00, Jumat 16.00-20.00, Sabtu 08.00-18.00. Bisa langsung dateng aja atau telepon dulu juga bisa ke 022-2503454.

    ReplyDelete
  3. Totalnya berapa mba kalo bolh tau ? Atas bawah ?

    ReplyDelete
  4. Ituu lokasinya di daerah Jakarta bukan?

    ReplyDelete
  5. Kak, drg inne bisa pasang gigi palsu juga gak ?

    ReplyDelete